Suara Guru TIK untuk Dunia Pendidikan


Tidak liniernya jurusan Manajeman Informatika (MI) dan Sistem Informasi (SI) pada Buku I pedoman penetapan peserta sertifikasi guru untuk mengajar mata pelajaran TIK, sangat meresahkan banyak guru TIK, terutama yang memiliki kualifikasi akademik MI dan SI. 


Apalagi yang sama sekali tidak memiliki jurusan yang berkaitan dengan TIK. Seperti yang kita ketahui banyak sekali guru TIK yang berkualifikasi akademik MI dan SI yang berstatus PNS maupun Non PNS dan sudah bertahun-tahun mengajar mata pelajaran TIK.



Sesuai dengan Permen Dikbud No. 68 Tahun 2014 bahwa guru TIK sekarang menjadi guru Bimbingan layaknya Bimbingan Konseling yang sudah ada di sekolah-sekolah. Namun banyak sekali kendala yang dihadapi oleh sekolah-sekolah khususnya yang ada di daerah. 



Sebagai contoh adanya kebijakan sekolah yang menjadikan bimbingan TIK diadakan sesudah jam pelajaran sekolah. Bimbingan tersebut tidak berjalan dengan lancar karena selain bimbingan TIK tidak masuk kriteria kenaikan kelas juga menjadikan siswa enggan mengikutinya karena sudah lelah dengan jam pelajaran pagi di sekolah.



Memang ada alasan yang mendasari penerapan Kurikulum 2013 untuk mata pelajaran TIK tersebut. Pertama; sekolah yang berlokasi di daerah terpencil atau lokasinya belum teraliri listrik, sulit melaksanakan mata pelajaran TIK. Kedua; tanpa ada mapel itu pun, peserta didik sekarang sudah menguasai TIK. Kita bisa melihat mereka sudah sangat paham Facebook, Twitter, dan email sejak SD. 



Sebenarnya argumen tersebut tidaklah sepenuhnya tepat. Artinya, sekolah di perkotaan yang memiliki kondisi infrastruktur pendukung (listrik dan sebagainya) memadai, apakah mereka tidak perlu belajar TIK hanya karena ”toleransi” menunggu daerah lain yang belum teraliri listrik? Padahal saat ini kemampuan memahami TIK amat vital. 



Dalih bahwa peserta didik sekarang telah ”menguasi” TIK sejak jenjang SD, juga tidaklah tepat mengingat hal itu tidak terlepas dari pengenalan sejak Kurikulum 2006. Andaikata tidak dikenalkan mapel TIK di sekolah, kemampuan mereka hanya sebatas permukaan. Bisa jadi, komputer dimanfaatkan sebatas hanya sebagai mesin ketik modern atau peranti bermain game. 



Padahal kita tahu di dalamnya banyak perangkat lunak, yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai bidang, dengan berjuta perintah. Pernyataan Wamendikbud bahwa guru TIK tidak akan dirugikan karena akan dialihkan sebagai ahli komputer semacam guru BK, juga bukan solusi. Pasalnya, selama ini di sekolah jenjang SMA/SMK, pada umumnya telah ada tenaga teknisi.



Guru TIK yang melaksanakan bimbingan pun sekarang ini mengalami masalah lain, yaitu pada saat mereka akan usul pangkat. Sesuai dengan Permenpan No. 16 Tahun 2009 tentang PAK Baru yang tentunya sudah memuat Penilaian Kinerja Guru, maka guru TIK jelas bermasalah dengan instrumen yang ada. Hal ini dikarenakan instrumen guru BK yang ada jelas tidak sesuai Silabus serta RPP bimbingan yang dijalankan oleh guru TIK pada kurikulum 2013. Tentu saja hal ini harus mendapat perhatian dari pemerintah untuk membuat juknis yang lebih rinci mengenai bimbingan TIK yang dilaksanakan pada kurikulum 2013.



Pada akhirnya melalui media ini, bagaimana status kepegawaian guru TIK, apakah sebagai guru atau tenaga struktural. Sebagai guru tidak mengajar, sebagai tenaga struktural, tapi ternyata SK kepegawaian mereka sebagai guru. Bila kita tarik benang merah antara prinsip pengembangan kurikulum dan pemikiran Alvin Toffler, mestinya mapel TIK pada jenjang SMP/SMA/SMK sangat relevan dengan kondisi abad informasi.

Posting Komentar

0 Komentar